Jul 3, 2015

Rumah Murah di Indonesia

            Permintaan akan rumah murah ternyata tidak hanya terjadi di kota-kota yang padat penduduk. Di Papua, pemintaan akan rumah rumah ternyata tidak kalah tingginya.
            Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo menjelaskan, permintaan rumah murah di Papua tinggi karena budaya penggunaan rumah di Papua sudah sedikit berubah. Dahulu, khususnya daerah pedalaman dan terpencil, dalam satu rumah biasa diisi oleh lebih dari satu kepala keluar.
            "Itu karena dalam satu rumah di sana, ditempati oleh empat sampai lima kepala keluarga," jelasnya usai acara Nota Kesepakatan Kerjasama dengan Kementerian Pekerjaam Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang dalam program Gerakan Sejuta Rumah, di Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Selasa (9/6/2015).
            Belakangan ini kebiasanya tersebut sedikit berubah. Satu keluarnya bisanya memiliki rumah sendiri. Oleh karena itu permintaan rumah murah di daerah tersebut cukup tinggi. "Ada dana otonomi khusus (otsus) sebesar Rp 35 triliun. Pemintaan masyarakat hanya minta rumah murah," tambahnya. 
            Tjahjo mengungkapkan, pihaknya sudah bertemu dengan Gubernur Papua dan meminta agar dana otsus sebagai dialokasikan untuk pembangunan rumah sederhana. Hal ini pun telah disetujui oleh gubernur.
            "Gubernur setuju 20 persen dari Rp 35 triliun itu dialokaiskan untuk pembangunan rumah. Selain itu juga untuk pendidikan dan kesehatan," tandasnya.
            Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meluncurkan program satu juta rumah pada akhir April 2015. Tak hanya uang muka (down payment/DP) yang sangat rendah yaitu sebesar 1 persen dari total harga, cicilan rumah murah ini juga cukup terjangkau yaitu sekitar Rp 500 ribu-600 ribu per bulan.
            Dalam program pengadaan rumah di era pemerintahan Jokowi, bunga kreditnya juga diturunkan menjadi 5 persen, dari sebelumnya 7,5 persen. Sementara mengenai tenor kreditnya bisa sampai jangka waktu maksimal 20 tahun. Bahkan, ada skema pemberian dana tunai ke masyarakat kurang mampu sebesar Rp 4 juta per kepala keluarga.
            "Rumah Murah ini akan dibangun di seluruh provinsi di Indonesia secara bertahap," kata Dirjen Penyediaan Perumahan Kementerian Umum dan Perumahan Rakyat Syarif Burhanuddin.
            Adapun ketentuan untuk mendapatkannya, untuk rumah tapak, masyarakat harus memiliki penghasilan maksimal Rp 4 juta per bulan. Sedangkan untuk rumah susun, penghasilan maksimal calon pemiliknya tidak lebih dari Rp 7 juta.
            "Kalau bicara satu juta rumah, targetnya tidak cuma masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), tapi non MBR juga bisa membelinya," terangnya.
            Namun bedanya, masyarakat non MBR tidak bisa mendapatkan subsidi dari pemerintah. Dari total sejuta rumah yang dibangun, sekitar 600 ribu rumah dialokasikan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. (Dny/Gdn)


Opini :
          
Menurut saya, program pemerintah satu ini baik dan bagus karena mengingat Rumah adalah kebutuhan primer yang dibutuhkan oleh manusia, untuk tempat tinggal yang berfungsi melindungi manusia dari sengatan matahari, hujan, untuk ber-istirahat, dan berkumpul bersama keluarga. Dengan diadakannya program rumah murah, dapat membantu masyarakat yang ingin memiliki tempat tinggal yang layak, aman, dan nyaman. Dan memberikan keringanan membayar rumah.

Sumber :



Transaksi di Indonesia Harus Pakai Rupiah Bukan Valas

Bank Indonesia (BI) akan memberikan kesempatan kepada seluruh perusahaan yang selama ini masih menggunakan valuta asing (valas) dalam transaksinya untuk mengubah keseluruhan transaksinya menggunakan mata uang Rupiah. Dengan demikian, maka kebutuhan akan dolar Amerika Serikat (AS) tidak meningkat tajam.
Plt Kepala Departemen Pengelolaan Uang BI, Eko Yulianto, mengatakan bahwa perusahaan yang akan beralih menggunakan mata uang Rupiah dalam transaksinya membutuhkan beberapa penyesuaian. Masalahnya, penggunaan Rupiah dalam transaksi adalah kesanggupan perusahaan itu sendiri.
"Generalized (penyamarataan) nanti itu tentunya beberapa penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan satu perusahaan akan dilakukan adjustment (penyesuaian) tingkat kesulitannya seperti apa," ucapnya dalam diskusi bersama media di Gedung BI, Jakarta, Selasa (9/6/2015).
Menurutnya, setiap perusahaan mempunyai tingkat kesulitan yang berbeda-beda dalam peralihan dari transaksi menggunakan valas ke mata uang Rupiah. "Ada yang perlu satu minggu, satu bulan Paling lama berapa, minimal berapa, tingkat kesulitannya seperti apa," jelas dia.
Ditemui di tempat yang sama, Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI, Ida Dwiyanti, mengatakan hal senada. Menurutnya, BI tidak hanya mengatur satu kegiatan untuk perusahaan secara keseluruhan, namun mulai dari perusahaan kecil hingga besar yang di mana masing-masing membutuhkan waktu yang bervariatif.
"Ini kita tidak mengatur satu kegiatan, tapi dari perusahaan yang kecil sampai besar. Kita paling lama berikan waktu satu tahun, itu juga pasti belum tentu," terangnya.
Masalah selanjutnya, kata Ida, adalah masalah teknis perusahaan. Dia mencontohkan, jika suatu perusahaan akan mengubah transaksinya, maka akan membutuhkan tahap awal.
"Misalnya, kalau dia akan mengubah transaksinya dia harus memperbaiki tahap awal enggak bisa dipotong langsung pakai Rupiah. Sehingga kita tidak bisa generalisir satu tahun saja," tutur dia.
Oleh karena itu, BI akan memberikan kesempatan kepada perusahaan tersebut untuk menyiapkan segala sesuatunya dan nanti pihak BI akan melakukan penaksiran terkait waktu permintaan yang diminta oleh perusahaan.
"Kita kasih kesempatan, kamu siapnya kapan? Lalu kami akan lakukan assesment, apakah ini wajar atau tidak permintaannya," tukasnya.

Opini :
Menurut saya, transaksi menggunakan valas di Indonesia dapat melemahkan posisi nilai mata uang kita, yaitu Rupiah. Dengan adanya valas yang berlebihan akan berakibat terhadap nilai tukar dan inflasi. Dan inflasi akan mengurangi daya saing kita. Langkah yang diambil oleh Bank Indonesia menurut saya tepat dengan memberikan kesempatan kepada perusahaan dan masyarakat yang transaksinya menggunakan valas diberi kesempatan untuk mengubah keseluruhan transaksinya menggunakan mata uang Rupiah. Dan Bank Indonesia telah menyiapkan sanksi bagi pihak-pihak yang masih menggunakan mata uang asing atau valuta asing (valas) dalam kegiatan transaksi barang atau jasa di wilayah Indonesia. Sanksi pidana kurungan maksimal 1 tahun dan membayar denda maksimal Rp 200 juta

Sumber :

Jul 2, 2015

Green Economy Pushes Forward Sustainable Growth

World Bank (WB) Group managing director Sri Mulyani Indrawati has said the development of an environment-based green economy would push economic growth that was more sustainable and inclusive in tackling gaps.
“Striving for green infrastructure today can give us benefits in the next several decades. Even developing countries can soon achieve ‘green’ growth,” she said as quoted by Antara news agency during the opening of the Indonesia Green Infrastructure Summit in Jakarta on Tuesday.
The former finance minister further said that economic growth achieved by sacrificing the environment would have bad impacts and, moreover, not all parties, especially poor people, could benefit from the economic achievements.
“If we continue to defend old ways, our economic growth benefits will reduce because natural resources will deplete rapidly and we will be more susceptible to climate change and health risks,” Sri Mulyani said.
Therefore, she said, Indonesia could learn from China which had adopted an environmentally friendly policy and was able to change its economic activities by putting forward innovations and products with higher added value.
Sri Mulyani said as part of efforts to realize more environmentally friendly and inclusive economic growth, Indonesia should produce clean energy and use it efficiently to reduce poverty.
“To that end, we need to maximize renewable energy plants and increase energy efficiency. Indonesia has 40 percent of the world’s geothermal potential and if it is managed well, this can help us achieving our target to double the use of renewable energy for power plants,” she said. (ebf)(++++)


Opinion :


I think the development of a green economy is not only governments that work, but the community also participated. In order for today's green infrastructure can provide benefits in the coming decades, and can sustain the natural resources of climate change and health risks, so thatthe government's efforts to realize economic growth that is more environmentally friendly, so that Indonesia can produce clean energy and use it efficiently to reduce poverty.


Reference :



Permits Streamlined For Economic Zones

The government is looking to cut bureaucratic red tape for businesses investing in special economic zones (KEK), as President Joko “Jokowi” Widodo seeks to attract investments and boost economic activity in the designed industrial areas.
Investment Coordinating Board (BKPM) chairman Franky Sibarani said that businesspeople planning to invest in KEKs would soon be able to utilize the one-stop business service, which unites all required investment permits in one body, rather than requiring applicants to deal with a host of agencies and ministries.
“The BKPM will focus on KEKs in an effort to integrate business permit-processing at the central and regional levels, as well as to attract more investment and spur economic activity,” Franky said in a statement released over the weekend.
The one-stop service begun its operations in January, but at that time the facility was limited to investors processing their permits at the BKPM’s central office in Jakarta.

Since then, the investment agency has extended the new system to the regional level. As of June 1, 370 regencies and 97 cities had implemented the one-stop service, according to BKPM data.
The BKPM would extend the services to an additional 46 regencies and six KEKs, Franky said. His agency, he explained, would coordinate with the zone administrations, as well as with the respective provincial governments, to integrate the business permit application system. Franky argued that KEKs had a strategic role as a center for economic growth and job creation at the regional level, pointing to the example of an agriculture- and ecotourism-focused KEK in Mandalika, West Nusa Tenggara, which is estimated to have generated 58,000 new jobs since its inception in 2014.
The government has developed a number of KEKs since 2009, when it first assembled businesses from a specific industry in one area, providing financial incentives in the hope that their investment could boost economic activity in the zones.
The zones are similar to other economic center concepts, such as free trade zones (FTZ) and bounded warehouses, industrial estates and Integrated Economic Development Zones (Kapet), which critics say are ineffective at spurring growth.
Eight new zones are now under development. The palm oil industry-based Sei Mangkei KEK in North Sumatra and the tourism-based Tanjung Lesung KEK in Banten were launched personally by President Jokowi this year.
The Jokowi administration has also designated new sites for KEK development, including Merauke in Papua; Sorong, Teluk Bintani and Raja Ampat in West Papua; Garombing-Baru and Taka Bonerate in South Sulawesi; Tarakan in North Kalimantan; Batulicin in South Kalimantan; Padang Pariaman in West Sumatra; and Lhokseumawe in Aceh.
“This is a positive signal that the government indeed wants to spearhead development in KEKs. Up to now, it has been left to the private sector to take the initiative in the development of emerging industrial zones,” Enny Sri Hartati, an economist with the Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), commented on Sunday.
According to Enny, many private industries remain reluctant to invest in KEKs because companies are required to bear high costs, partly as a result of inadequate infrastructure in the zones.


Opinion :

I think the program is goodbecause the government wants to develop the industrial areaand the KEK has a strategic role as a center of economic growth and job creation at the regional level,which is estimated to have resulted in 58,000 new jobs since the beginning of 2014.


Reference :